Apa yg terlintas di pikiran teman-teman ketika mendengar kalimat “ pendidikan yang membebaskan ? " Dari sudut pandang saya sebagai seorang siswa SMA, yang pertama kali terbayang ketika mendengar kalimat tersebut adalah sistem pendidikan yang membebaskan siswa-siswi dari tekanan berlebih, terutama dri segi akademik, seperti tuntutan tugas yg terasa berat, standar yg terlalu tinggi secara umum, dan hal-hal terkait lainnya. Saya bisa saja melanjutkan argumen saya yg bersifat subjektif tersebut, namun saya rasa konsep pendidikan yang membebaskan bukan sesuatu yang sedangkal “ bebas dari ulangan harian dan PR berlebih. " Ada makna lebih dalam yg harus coba digali terkait pendidikan yang membebaskan sehingga, memotivasi saya untuk mencari informasi dari beberapa sumber.
Saya menemukan bahwa konsep “ pendidikan yang membebaskan ” awalnya dipelopori oleh Paulo Freire. Beliau adalah seorang filsuf dan ahli pendidikan dari Brazil. Kondisi kemiskinan dan kelaparan yang ia pernah hadapi membuat ia paham betul seperti apa rasanya hidup susah dan pentingnya pendidikan di masa Depresi Besar. Pengalamannya selama mengajar bagi kaum miskin membuat ia menyadari bahwa pendidikan itu penting dan merupakan hak setiap orang. Baginya, pendidikan yang benar adalah pendidikan yg dapat diakses oleh berbagai kalangan, dan melepaskan masyarakat dari rantai kemiskinan.
Membaca sekilas tentang perjuangan Paulo Freire dalam memberikan pendidikan yang pantas bagi kaum miskin membuat saya menyadari beberapa hal. Pendidikan di Indonesia saat ini sangat miris, dimana segenap masyarakatnya masih belum mempunyai akses mengenyam dunia pendidikan formal selayaknya. Data UNICEF tahun 2017 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). 50 % dari mereka menyatakan bahwa mereka putus sekolah karna masalah biaya. Benarkah ini karena faktor ekonomi atau sistem yang tidak berpihak pada mereka?
No comments:
Post a Comment