Dahulu kala, ketika waktu masih ditentukan oleh beberapa
orang, dan kapal-kapal masih bergantung pada kecerlangan bintang-bintang dan
nujuman, dan para perompak masih musuh utama Sultan, hiduplah seorang Tukang
Cerita yang mengandalkan kebohongan. Pada musim di mana angin gila dan angin
ekor duyung menguasai lautan, ramailah bandar oleh para awak kapal yang
menunggu amuk lautan reda. Saat gempita itulah si Tukang Cerita turun dari
gunung. Sehabis asar dia selalu datang ke bandar itu, karena dia bergantung
hidup pada kemurahan hati para pelaut yang terbius oleh kisah-kisahnya.
Pelaut-pelaut itu memberinya kain Koromandel, keramik Campa,
permadani Persia, batik Jawa, kemenyan Barus, candu Magrib, dan kisah-kisah
pelayaran. Segala pemberian itu, oleh Tukang Cerita, dijual kembali setelah
bandar tak lagi ramai. Sementara kisah-kisah pelayaran adalah bahan-bahan
cerita baru baginya, yang dikocoknya dengan begitu lihai, sehingga nyaris tidak
kelihatan rupa aslinya. Dalam melumatkan cerita, mulutnya itu sempurna tiada
terkira, melebihi batu giling yang paling tajam sekalipun. Para pelaut malang
itu tak pernah sadar bahwa kisahan Tukang Cerita itu ialah apa yang pernah
mereka ceritakan.
Setiap dia menyelesaikan cerita, yang terkesan
dipanjang-panjangkan, dia bertanya pada dua-tiga orang pelaut, “ Bagaimana
ceritaku barusan ? Kalian percaya ? Pengalaman apa yang kaudapat dalam
pelayaran kali ini, Ranir? Wahai, Pasha, ceritakan padaku tentang gadis-gadis
negeri Atas Angin ? ”
Maka berceritalah para pelaut itu, sementara dia mendengar
dengan saksama sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat para pelaut itu satu
demi satu selesai bercerita, dia bertepuk tangan, tentu bukan untuk menghormati
kepiawaian mereka, namun karena dia sudah menemukan bahan kisah baru untuk saat
mendatang.
Mulut Tukang Cerita sama tajamnya dengan Zulfikar, pedang
kesayangan Sultan. Dan kelak dia binasa di ujung Zulfikar. Konon kabarnya, dia
binasa karena Kura-kura Berjanggut.
Kisahnya tentang Kura-kura Berjanggut telah membuat Sultan
begitu terhina. Mungkin maksudnya mulia: dia ingin menghibur para anak kapal
yang telah menunggu lama di bandar oleh huru-hara di lautan. Tapi mungkin saja
Sultan menangkap maksud lain dari kisah itu.
Pada hari-hari menjelang putusnya leher Tukang Cerita oleh
Zulfikar, kapal-kapal yang merapat di Bandar Lamuri tak terbilang jumlahnya,
bahkan berderet hampir menyentuh tepi cakrawala! Kapal-kapal itu singgah bukan
oleh musim angin gila atau angin ekor duyung. Laut tenang. Langit bercahaya.
Tak ada waktu yang lebih bagus untuk berlayar selain pada musim ini. Tapi ini
waktu perompak Lamuri mengganas. Sudah bertahun-tahun tak terdengar kabar
berita tentang para perompak itu. Tak ada yang bisa menerka kapan muncul dan
hilangnya rompak Lamuri. Tak juga ahli nujum kepercayaan Sultan. Bahkan,
bertambah cemaslah raut wajah para saudagar kapal tatkala melihat kapal-kapal
perang Sultan yang memburu perompak pulang dengan layar hangus dan tiang roboh,
padahal kapal-kapal perkasa itu telah dilengkapi dengan meriam dan bubuk mesiu
buatan Turki Usmani.
Bandar Lamuri sebenarnya tempat menunggu yang paling pas
bagi kapal-kapal itu disebabkan oleh kedudukannya tepat di mulut pintu antara
bandar-bandar Atas Angin dan bandar-bandar Bawah Angin. Namun sejak lima tahun
terakhir bandar itu sepi, sejak orang kulit putih merebut Bandar Malaka. Begitu
Malaka direbut, penguasa putih langsung menurunkan ongkos merapat kapal
setengah kali lipat dari bea Bandar Lamuri. Hal ini tak lepas dari peran Si
Ujud.
Memang khianat Si Ujud itu! Geram suara Sultan yang melaknat
Si Ujud masih terdengar sampai hari ini. Menurut Hikayat Taman-taman Kenikmatan
yang dikarang oleh pengarang istana paling cemerlang pada masa itu, Sultan
menyesal kenapa ia tak memancung leher Si Ujud dengan Zulfikar, ketika orang
celaka itu menghasut sekelompok orangkaya lingkaran Kleng untuk memberontak.
Sultan hanya menghukum-buang Si Ujud ke Malaka.
Tentu saja si pengarang istana yang cerdas punya alasan
kenapa Sultan tak memancung Si Ujud. Tersurat dalam hikayat itu, Sultan masih
menyimpan sesal yang dalam karena pada tahun yang lewat dia dengan ringan
melayangkan Zulfikar ke leher anak kandungnya, yang dituduhnya telah membagi
kenikmatan dengan seorang selir kesayangan Sultan. Menurut hikayat itu pula,
setelah si anak kandung binasa, Sultan berjanji untuk menyimpan Zulfikar dan
hanya menggunakan pada saat-saat yang penting.
Namun tidak begitu menurut para ahli hikayat, terutama orang
kulit putih, yang hidup ratusan tahun kemudian. Menurut penafsir berkulit putih
itu, Sultan menyimpan Zulfikar karena pada malam hari setelah pemancungan itu
Sultan beroleh mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu Sultan didatangi seorang
sahabat Nabi, yang mengatakan bahwa Zulfikar merupakan pedang kesayangannya,
biasa dipakai untuk membela agama anjuran Nabi. Dan Sultan sempat bertanya:
wahai Saidina, bagaimana bisa pedang ini berada di tangan Kadi Malikul Adil dan
kemudian Kadi menyerahkan padaku? Sang Sahabat hanya menjawab: laut begitu
luas, maka laut dapat menghanyutkan segala sesuatu kepada siapa saja, kepada orang
yang saleh maupun yang tidak.
Sejak mimpi itulah Sultan menyimpan Zulfikar.
Nasib Si Ujud berubah setelah orang kulit putih merebut
Malaka dan menumpas penguasa taklukan Lamuri. Sultan Lamuri tak kuasa
menghentikan langkah orang kulit putih di tanah taklukannya, dan hanya mampu
menatap saja dari seberang lautan. Sebab di tanahnya sendiri pada saat yang
bersamaan meletus pemberontakan orangkaya Lingkaran Kleng sekutu Si Ujud, yang
melarikan diri ke hutan Halimun. Ketika Sultan berhasil memadamkan pemberontakan
itu, orang kulit putih sudah terlalu kuat di Malaka. Beberapa serangan kilat
oleh balatentara laut Sultan dipatahkan oleh orang kulit putih. Maka Sultan
berencana menyiapkan perang yang lebih besar dan matang terhadap para penakluk
itu. Untuk itu, kapal-kapal perang yang dilengkapi meriam paling ampuh dan
terbaru telah dipesan kepada Kekhalifahan Usmani. Maka kas kesultanan harus
ditambah. Maka ongkos masuk kapal di Bandar Lamuri dinaikkan.
Si Ujud kemudian diangkat sebagai penasihat orang kulit putih
khusus untuk masalah Lamuri dan tanah-tanah taklukannya. Maka ia menyampaikan
beberapa siasat untuk melemahkan Lamuri. Begitu Sultan menaikkan ongkos masuk
kapal, ia sarankan penguasa kulit putih di Malaka untuk menurunkan tarif masuk
kapal di Malaka setengah dari harga Bandar Lamuri. Hasilnya akan kelihatan pada
musim angin buruk mendatang. Benarlah, hampir setengah dari kapal-kapal yang
dulu singgah di Lamuri pindah ke Malaka. Itulah mengapa Bandar Lamuri sepi
selama lima tahun terakhir.
Maka Sultan menyesal tak memancung kepala Si Ujud dengan
Zulfikar.
Bandar Lamuri bertambah sepi tatkala orang kulit putih
mendirikan sebuah rumah bordil yang besar sekali di Malaka. Muka Berseri nama
rumah kenikmatan itu, yang langsung diusahakan di bawah kesyahbandaran. Ini
juga saran Si Ujud. Berkata dia, “ Betapa aku sering mendengar sepinya hati
para pelaut setiap kapal mereka singgah di Lamuri. Di sana tak ada rumah bordil
sebab tak diizinkan Sultan yang alim. Padahal sudah kubilang berkali-kali bahwa
para pelaut itu tak semuanya seagama dengan kita. Belum selesai aku bicara,
kulihat Sultan sudah memegang Zulfikar-nya. Siapa tak gentar melihat pedang
itu. Selama ini hati pelaut yang sepi hanya dihibur oleh bual dan cerita bohong
Tukang Cerita sialan. Sungguh kasihan nasib pelaut yang singgah di sana. ”
Sementara Si Tukang Cerita sendiri, sejak sepinya Bandar
Lamuri, sudah jarang turun ke bandar. Dia telah begitu banyak kehilangan
pendengar setianya. Dia hanya turun gunung apabila mendengar hal-hal besar
terjadi di bandar.
Begitulah, kali ini Tukang Cerita pun turun ke bandar begitu
ia mendengar banyaknya kapal yang merapat di bandar akibat mengganasnya perompak
Lamuri.
“ Berceritalah, Tukang Cerita. Berceritalah. Kau pasti punya
simpanan cerita yang tak terkira. Aku khusus membawakanmu anggur kekekalan yang
disimpan di dalam gudang rumah orang Peranggi. Anggur ini tak hanya
menghangatkan tubuhmu tapi juga pikiranmu. Kau harus mencobanya, ” sambut
seorang anak kapal.
“ Ya berceritalah, Tukang Cerita. Ceritakan tentang perompak
Lamuri, kalau kau tahu tentang mereka, ” berkata anak kapal yang lain.
“ Hoho, jangan salah sangka, kawan-kawan semua. Hari ini aku
tak akan menceritakan tentang rompak Lamuri, belum saatnya. Dan janganlah
kalian dirisaukan oleh perompak itu. Biarlah para nakhoda dan saudagar, juga
laksamana dan Sultan Kita Yang Mulia saja yang memikirkan itu. Mari kita
bersenang-senang terlebih dahulu. Bukankah sudah lama kita tak berjumpa ? ”
jawab Tukang Cerita.
Maka berceritalah Tukang Cerita sore itu tentang segala
ihwal. Bercerita sepanjang malam sampai matahari terbit lagi keesokan harinya.
Bercerita pula beberapa anak kapal tentang bandar-bandar yang mereka singgahi,
dan pengalaman cinta mereka di setiap bandar. Melupakan kapan kapal-kapal
mereka bisa angkat sauh dari Bandar Lamuri, dan kapan janji Sultan menumpas
perompak yang mengganas itu terlunasi.
Berhari-hari Tukang Cerita bercerita menghibur para anak
kapal yang menunggu Sultan menumpas perompak Lamuri. Sampai Tukang Cerita
kehabisan ceritanya, sampai anak-anak kapal sadar bahwa telah begitu lama
mereka menunggu di Bandar. Mereka masih menunggu datangnya kabar baik dari
kesyahbandaran.
Hingga suatu hari, di tengah tuturan Tukang Cerita,
datanglah beberapa puluh orang mendekat ke kerumunan itu. Melihat siapa-siapa
yang datang, berdirilah ia seketika menghentikan kisahnya.
“ Singkat saja, Tukang Cerita. Hari ini aku ingin mendengar
perkara bajak laut Lamuri. Aku tahu kau tahu segalanya tentang mereka, ”
berkata seorang nakhoda tua.
“ Tun, kau rupanya, nakhoda kapal Ikan Pari. Apa kabar
perempuan berleher gading dari Magribi ? ” tanya Tukang Cerita.
Bersemu merah paras nakhoda tua itu.
“ Katakan sejujurnya apa yang sebenarnya terjadi di laut
kita ? ”
“ Dan kau, Abdul Kadir, jurumudi ternama kesayangan saudagar
Barus, kawan lama sekapal yang bersumpah tak akan menjejak tanah sebelum orang
putih meninggalkan Malaka. Apakah aku harus terharu ? Kau melanggar sumpah
untuk tidak mendengar ceritaku ? ”
Yang paling takjub mendengar percakapan itu ialah para awak
kapal yang belia usianya. Baru tahu mereka ternyata Tukang Cerita punya hubungan
dengan para petinggi mereka.
“ Tidak. Aku tidak tahu apa-apa tentang rompak Lamuri.
Karena mereka tak ada lagi. Dan bukankah Sultan sudah berjanji untuk menumpas
perompak di laut secepat laju kapal kalian ? ” kata Tukang Cerita.
“ Kau bohong, kau tahu segalanya, bukankah kau bagian dari
perompak itu? Dan tidakkah kaudengar satu armada belum kembali setelah dua Jumat
mengejar kapal perompak ? ”
Heninglah semua jamaah mendengar pernyataan terakhir Abdul
Kadir.
“ Kau benar belaka, Abdul Kadir. Kita berdua pernah menjadi
bagian dari rompak Lamuri. Semua orang di bandar ini tahu. Tapi itu dulu,
berpuluh tahun silam, ketika kalian, wahai anak-anak kapal yang belia, belum
melihat dunia. Aku nakhoda kapal perompak Lamuri yang paling ditakuti di
selingkar laut Atas dan Bawah Angin, dan kau, Kadir, adalah salah seorang
jurumudi kapal yang paling kukagumi. Di tanganmu kemudi kapal kita secepat
Zulfikar memenggal kepala. Itu dulu, waktu Sultan masih membutuhkan kekuatan kita
di lautan. Sampai suatu hari Sultan Kita Yang Mulia mengatakan dia tak
membutuhkan kita lagi sebagai sekutu lautnya. Hari itu Zulfikar baru saja tiba
di tanah ini. Seorang mufti dari seberang lautan mempersembahkan pedang itu
kepadanya, ” kata Tukang Cerita.
“ Hari itu kukatakan kepada Sultan, jika saja tiang-tiang
kapal kita bisa bicara, akan mereka katakan bahwa orang kulit putih dalam
perjalanan menyeberang ke mari dan kitalah kekuatan pertama yang akan mencegah
kedatangan mereka. Dan bukankah kalian tahu apa jawaban Sultan waktu itu?
Pamanku itu hanya memelukku dan berucap, terima kasih, wahai kemenakan, atas
peringatanmu. Kita semua kecewa mendengar ketetapan hatinya, tapi kita
menghormati Sultan kita, mematuhi kata-katanya. Maka aku menolak saranmu untuk
melakukan pemberontakan, wahai Qaran, ” kata Tukang Cerita sambil mendekat ke
arah seorang abesy, lalu memeluk orang itu, “ Sudah besarkah anak dara
Bukharamu? Kuharap kau selalu memenuhi janjimu untuk mengunjunginya setidaknya
dua tahun sekali. ”
“ Ya. Aku dalam perjalanan untuk berjumpa Zulaikha. Tapi
kabar tentang perompak itu menghentikan langkahku di bandar ini. Bandar yang
sejujurnya tidak ingin kuinjak lagi. Hanya karena kudengar kabar tentang
perompakan di laut Lamuri, maka kuarahkan kemudi ke bandar celaka ini. Dan
kukira kau kembali dipanggil Sultan. ”
“ Wahai Qaran dan kawan-kawan lama lainnya. Huru-hara di
lautan menyebabkan kita berjumpa lagi. Tak pernah terbayang olehku kita bakal
berjumpa lagi seperti ini. Sultan punya keputusan, kalian juga punya, begitu
pula denganku. Kalian meninggalkan Lamuri untuk selamanya, pergi entah ke mana,
juga merasa kecewa denganku yang tak mampu membela kepentingan kalian.
Sementara aku yang tak ingin ke mana-mana, karena cintaku pada tanah ini,
memilih berumah di dalam hutan. Kutampik rumah pemberian Sultan. Lama di dalam
hutan, hilanglah pengetahuanku tentang lautan. Sekali-sekali aku turun ke
bandar dan menjadi Tukang Cerita, bertanya-tanya tentang kabar kalian dari para
anak kapal yang mau mendengar ceritaku. Dengan begitu lunaslah sedikit rinduku
pada kalian, ” kata Tukang Cerita.
“ Kalian akan pergi dari hadapanku. Dan memang itu yang
harus kalian lakukan sebab aku tak lebih tahu dari kalian siapa sesungguhnya
para perompak Lamuri itu. Kini kuharap kalian masih mau mendengarkan ceritaku
tentang Kura-kura Berjanggut. Kisah ini dulu sering kuceritakan kepada kalian,
di tengah lautan, di atas geladak kapal saat angin mati, saat kita berhari-hari
dalam jemu yang panjang menunggu datangnya angin. Seperti kalian ketahui,
begitu aku selesai menceritakan Hikayat Kura-kura Berjanggut, esok harinya
layar kapal menarik angin dari segala penjuru, ” kata Tukang Cerita.
“ Di antara kalian masih ada yang percaya, mungkin sampai
hari ini, hikayat itu adalah mantra penarik angin. Tapi ini adalah leluconku
dengan mualim kita yang cerdas itu. Dia melihat bintang-bintang di langit, dan
mengatakan padaku bahwa tujuh hari lagi angin akan berembus. Maka aku
mengumpulkan kalian semua di atas geladak. Dan menceritakan hikayat itu. Betapa
gembira kalian tatkala aku menceritakan hikayat itu, sebab kalian bakal
terbebaskan dari hari-hari menunggu angin yang membosankan. Semoga dengan
hikayat ini kapal kalian bisa berlayar esok hari, ” kata Tukang Cerita. “ Simaklah.
”
Dahulu kala, ketika segala binatang dan pepohonan masih bisa
bicara, dan bandar ini belum bernama, hiduplah seekor raja kura-kura yang
menguasai selingkar lautan ini. Kura-kura itu disegani oleh makhluk sepenjuru
lautan karena kecepatan dan keperkasaannya.
Sampai pada suatu hari di ujung lautan terlihatlah sebuah
kapal. Di atas geladak kapal itu terlihat seekor unta. Hanya seekor unta.
O, keperkasaan dan kuasa membuat raja kura-kura menjadi
kurang waspada.
Padahal petuah lama mengatakan, apabila kau melihat sebuah
kapal dengan unta di atas geladaknya, segera usirlah kapal itu. Sebab itu
adalah unta yang diusir Nabi Sulaiman, nabi junjungan segala binatang. Dosa
apakah yang membuat orang sesabar Sulaiman berbuat begitu? Di tanah Sulaiman,
dia telah menyebarkan banyak fitnah dan kebohongan, sering membuat Sulaiman
susah tak kepalang.
Dalam pembuangan, unta itu masih saja menyebar kabar
kebohongan ke seluruh penjuru lautan, karena dengan itulah dia mendapatkan doa
para penguasa dunia. Bukankah tak ada raja yang sudi berdoa untuk unta usiran
Sulaiman?
Kebohongan sang unta membuat sesiapa yang percaya menjadi
gelap takdir hidupnya, sepekat kabut yang menudungi kapalnya.
Seperti kura-kura yang pernah hidup di bandar ini.
Kepada kura-kura, sang unta mengatakan, sungguh aneh
kura-kura yang dilihatnya ini, sebab di tanah Sulaiman dan di seluruh penjuru
lautan yang pernah disinggahinya, semua kura-kura ada janggutnya. Marahlah
kura-kura mendengar kabar ini. Berkata ia, katakan padaku di mana aku bisa
membeli janggut, wahai unta pembawa berita?
Kau tak perlu menghabiskan seluruh kekayaanmu kalau hanya
untuk mendapatkan sejumput janggut di dagumu, begitu pesan Sulaiman, berdoa
sajalah untuk keselamatan unta kelana ini. Maka akan tumbuhlah janggut di
dagumu itu, jawab unta sambil tertawa. Begitu sang unta berdusta.
Maka berdoalah kura-kura untuk keselamatan si unta. Setelah
mendapatkan doa raja kura-kura, unta itu pun pergi dengan hati seluas samudra
bersama kapalnya dan kabut yang memayungi kapalnya.
Maka hitam-pekatlah hidup si kura-kura sampai anak cucunya
hingga hari ini. Perhatikanlah, sungguh lambat jalannya kura-kura sekarang.
Sampai sekarang makhluk itu masih saja merayap mencari-cari janggutnya yang
jatuh di tanah, sebab ia menyangka Sulaiman melemparkan begitu saja janggut
itu.